Jumat, 16 April 2010

Sistem Politik Indonesia

Sistem Politik

Sanur (ANTARA News) - Sekjen DPP PDI Perjuangan Tjahjo Kumolo menegaskan, keputusan-keputusan kongres terutama mengenai manifesto politik dan sikap politik yang antara lain menyatakan partai tetap menjadi kekuatan oposisi, segera ditindaklanjuti dalam pergerakan politik di lapangan, termasuk melalui kiprah fraksi-fraksi di semua tingkatan di lembaga legislatif.

"Amanat Kongres ke-3 PDI Perjuangan di Bali ini memantapkan tekad kami untuk konsisten sebagai kekuatan politik yang berfungsi untuk melakukan kontrol dan penyeimbang terhadap pemerintah guna mewujudkan Indonesia yang semakin berdaulat, berdikari serta berkepribadian atau bermartabat dan berjatidiri," kata Tjahjo Kumolo kepada ANTARA di Sanur, Bali, Jumat.

Pengganti Pramono Anung di posisi sekjen itu, menyebutkan, manifesto politik dan beberapa sikap politik yang dihasilkan dalam kongres, menjadi light star atau bintang acuan dan pembimbing setiap kader dalam berkiprah menjalankan pergerakan-pergerakan serta aksi politik di mana pun mereka berada.

Kongres ke-3 PDI Perjuangan itu sendiri berakhir sehari lebih cepat dari rencana semula (6-9 April), karena klimaks pergerakan demokrasi partai telah terwujud melalui tuntasnya pemilihan sekaligus pelantikan ketua umum yang baru, yakni tetap dimandatkan kepada Megawati Soekarnoputri.

Peranan menentukan yang dimainkan beberapa tokoh dalam dunia politik Indonesia adalah produk dari budaya politik yang berkembang di dalam masyarakat Indonesia. Budaya politik itu adalah patrimonialisme, yaitu paham yang beranggapan bahwa seorang bapak (dalam kasus Megawati: seorang ibu) mendapatkan dukungan masyarakat karena daya tarik (karisma) yang dimilikinya sehingga dia didukung untuk memimpin dengan kepercayaan yang amat besar.

Kepercayaan yang amat besar ini membuat pandangan yang dianut oleh pemimpin selalu benar dan setiap orang diminta untuk mematuhi apa pun yang diputuskan oleh sang pemimpin. Dalam patrimonialisme, seorang pemimpin tidak mempunyai pesaing dan kritik tidak layak ditujukan kepada pemimpin. Bangsa Indonesia tidak bisa mengabaikan budaya tersebut.Memang idealnya pemimpin muncul secara demokratis berupa persaingan di antara sesama pemimpin sehingga pemimpin yang terbaiklah yang akan tampil sebagai pemimpin tertinggi. Pemimpin yang demokratis harus rela menerima kritik.Namun budaya patrimonialisme tersebut tidak dapat dihilangkan dalam waktu yang pendek. Barangkali diperlukan beberapa puluh tahun lagi untuk bisa menghilangkannya.


Sumber : Antara-News

1 komentar:

  1. aku si banayk tidak mengerti dengan keadaan sistem politik yang berlaku di indonesia ini
    jilbab tangan

    BalasHapus